Desa Arum: Tempat Aborsi Ilegal yang Dikubur Kabut dan Kutukan

Desa Arum: Tempat Aborsi Ilegal yang Dikubur Kabut dan Kutukan

Desa Arum: Tempat Aborsi Ilegal yang Dikubur Kabut dan Kutukan

Tak ada yang benar-benar tahu di mana letak Desa Arum. Di peta, nama itu tidak tercatat. Namun di cerita para dukun tua dan sopir angkutan malam, nama itu kerap disebut — lirih, seolah hanya dengan menyebutnya saja bisa mengundang celaka. Desa Arum dikenal sebagai tempat terakhir bagi banyak perempuan muda yang "terlalu awal" mengandung. Mereka datang bukan untuk membesarkan anak, melainkan untuk memastikan anak itu tidak pernah lahir.

Konon, Desa Arum punya dukun bernama Mbah Sarin, seorang perempuan tua yang dikenal bisa "menyelesaikan urusan aib" tanpa jejak. Para perempuan dari kota datang dengan diam-diam, tinggal semalam dua malam, lalu pulang dengan perut yang kembali rata. Tapi tidak semuanya pulang hidup. Beberapa menghilang, dan keluarga mereka hanya bisa berspekulasi, karena tak ada polisi yang mau masuk terlalu jauh ke dalam hutan tempat desa itu berada.

Saya, Rendi, seorang mahasiswa antropologi, awalnya hanya ingin membuat penelitian tentang desa yang tidak punya angka kelahiran selama lebih dari 20 tahun. Tapi semua berubah sejak saya benar-benar menjejakkan kaki di desa itu. Desa yang tak punya suara ayam, tak ada tawa anak-anak, dan tak ada kelahiran baru.

Warga Desa Arum hidup seperti biasa — berkebun, memelihara kambing, mengeringkan gabah. Tapi yang aneh adalah keheningan yang menyelimuti setiap malam. Saat matahari tenggelam, tak ada satu pun lampu dinyalakan. Rumah-rumah dikunci rapat, jendela ditutup daun kelapa kering, dan jalanan menjadi hening total. Tidak ada sinyal, tidak ada suara — kecuali satu: tangisan bayi dari arah kebun belakang.

Awalnya saya pikir itu suara kucing atau burung malam. Tapi malam kedua, saya mendengar suara yang sama, dan kali ini di bawah lantai rumah tempat saya menginap. Tangisan lirih, bergetar, seperti bayi yang kedinginan. Saya laporkan hal ini ke Pak Jarto, tuan rumah saya, yang hanya terdiam dan menyalakan kemenyan. Dia tidak menjawab apa pun, kecuali satu kalimat pelan: “Jangan gali tanah dekat pohon asem.”

Tentu saya tidak tahan. Rasa penasaran membawa saya ke kebun belakang di siang hari. Di sana, saya menemukan puluhan kendi tanah liat kecil tertanam setengah dalam tanah, berjajar seperti nisan tanpa nama. Sebagian pecah, memperlihatkan isi kain kumal, bahkan cairan kecokelatan yang berbau aneh. Saya mulai muntah dan merinding.

Malam berikutnya, saya dikunjungi seorang perempuan muda. Kulitnya pucat, matanya kosong, dan perutnya hamil besar. Ia mengetuk pintu rumah saya dan hanya berkata, “Aku Raisa. Aku datang ke sini tahun 2013. Tapi aku belum pernah pulang.” Saat saya membuka pintu lebih lebar, ia sudah tidak ada. Besoknya saya cek berita lama — dan benar, ada berita tentang seorang mahasiswi hamil yang menghilang tanpa jejak di Jawa Timur, tahun 2013. Namanya Raisa.

Setelah itu, saya jatuh sakit selama dua hari. Demam tinggi, mimpi buruk, dan setiap jam 2 pagi saya mendengar tangisan yang makin dekat. Warga tidak berani menyentuh saya, kecuali satu orang tua yang memercikkan air bunga tujuh rupa di tubuh saya sambil membaca mantra Jawa kuno. Setelah itu, saya diminta pergi. “Kamu terlalu banyak tahu,” kata mereka.

Saya meninggalkan Desa Arum dengan kepala penuh pertanyaan dan jiwa yang tidak utuh. Tapi Arum tidak pergi dari saya. Di kos saya, di Surabaya, saya mulai mendengar suara-suara yang sama. Setiap malam jam 2, tangisan bayi kembali terdengar. Saya coba tidur dengan TV menyala, radio, earphone — tetap tak mempan. Dan pagi tadi, di depan pintu kamar, ada kendi kecil penuh tanah basah.

Desa Arum mungkin tidak ada di Google Maps. Tapi dosanya, kutukannya, dan arwah yang tidak pernah sempat lahir — mereka nyata, dan mereka sedang mencari jalan pulang.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama