👁️‍🗨️ "Kampung Tanpa Nama"

 

🌘 "Kampung Tanpa Nama"

👁️‍🗨️ "Kampung Tanpa Nama"

“Beberapa tempat tidak dicantumkan di peta bukan karena dilupakan—tetapi karena mereka memang tidak ingin ditemukan.”


🛤️ BAB 1: Jalan yang Tidak Pernah Dicatat

Faisal adalah seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Arsitektur di Yogyakarta. Untuk tugas akhir kuliahnya, ia mengambil tema arsitektur desa adat yang belum terdokumentasi. Ia bertekad untuk menjelajahi desa-desa di lereng Pegunungan Dieng. Dengan kamera DSLR, catatan sketsa, dan motor tua peninggalan ayahnya, ia berangkat sendirian.

Pada hari keempat penjelajahannya, saat matahari hampir tenggelam dan GPS-nya mati mendadak, ia menemukan cabang jalan tanah sempit di tengah hutan pinus. Di ujung jalan itu tampak gapura kayu lapuk berlumut, dengan ornamen ukiran wajah manusia — semuanya menangis.

Rasa penasaran mengalahkan logika. Faisal melewati gapura itu.

Setelah melewati jalan menanjak dan turunan curam selama 10 menit, ia tiba-tiba disambut oleh kampung tradisional yang sangat asri dan tenang, dikelilingi hutan lebat. Rumah-rumah joglo berdiri rapi, bau kayu terbakar tercium samar, dan kabut tipis menyelimuti tanah.


🏚️ BAB 2: Senyuman Tak Wajar

Penduduk kampung menyambut Faisal dengan sopan santun luar biasa. Anak-anak bermain lompat tali dengan suara nyaris tanpa tawa. Orang dewasa mengenakan pakaian adat seperti dari zaman kolonial, lengkap dengan blangkon dan kebaya. Namun yang paling membuat Faisal gelisah: mereka semua tersenyum... tetapi mata mereka kosong.

Faisal bertanya kepada seorang pria tua yang duduk di beranda:

“Pak, ini kampung apa ya?”

Kakek itu berhenti mengunyah sirih, lalu menjawab:

“Tidak ada yang menyebut nama tempat ini. Tidak perlu.”

Ia dipersilakan menginap oleh keluarga kecil — sepasang suami istri dan seorang anak perempuan yang tidak pernah bicara sepatah kata pun. Malam itu, Faisal tidak bisa tidur. Ia merasa seperti selalu diawasi. Bahkan saat buang air kecil di luar rumah, ia mendengar bisikan dari arah pohon bambu:

“Sudah datang lagi… satu lagi...”


🕯️ BAB 3: Ritual Bayangan

Pagi harinya, Faisal terkejut karena tidak bisa melihat bayangannya sendiri di kolam belakang rumah. Ia menggosok mata, bahkan memotret air kolam. Di foto — tidak ada bayangan dirinya.

Anak kecil di rumah tempat ia menginap tiba-tiba berkata lirih:

“Kalau bayanganmu hilang, berarti kampung ini sudah menerimamu.”

Faisal mulai takut. Ia ingin pulang, tapi jalan keluar dari kampung seolah menghilang. Jalur yang ia lalui kemarin kini ditutup oleh jurang dan kabut pekat.

Di malam kedua, Faisal mendengar bunyi gamelan dan nyanyian kidung Jawa. Ia mengikuti suara itu ke balai desa.

Di sana, ratusan warga berkumpul dalam lingkaran. Di tengah lingkaran berdiri patung kayu besar, berwajah persis Faisal — lengkap dengan detail pakaian dan luka kecil di tangan kirinya.

Patung itu lalu dibakar. Asapnya mengepul, dan warga mulai menangis bersama.


🧩 BAB 4: Perangkap Jiwa

Seorang pria muda tiba-tiba menarik Faisal ke balik pohon. Ia memperkenalkan diri sebagai Arga, satu-satunya yang masih sadar.

“Aku juga seperti kamu dulu. Mahasiswa. Tersesat. Sekarang aku sudah tiga tahun di sini. Waktu tak jalan, siang dan malam tak menentu. Kalau kau tak pergi sebelum malam ketiga, kamu akan menjadi pengganti.”

Faisal bertanya, “Pengganti apa?”

“Kampung ini butuh jiwa baru agar kampung bisa tetap ada. Setiap purnama, satu pengganti harus dikorbankan. Bayanganmu hilang? Artinya kamu calon berikutnya.”


🕳️ BAB 5: Pintu Keluar yang Tidak Logis

Arga dan Faisal mencoba mencari jalan keluar. Mereka melewati sungai, mendaki bukit, bahkan mencoba tidur di luar pagar desa. Namun... mereka selalu terbangun kembali di ranjang yang sama, pada pagi yang sama, dengan suara ayam yang sama.

Sampai akhirnya malam ketiga tiba.

Warga mulai berkumpul, membawa obor dan pakaian putih. Faisal diseret ke tengah lapangan. Patung kayunya sudah menunggu. Namun saat hendak dikurung, Arga mendorong Faisal keluar dari lingkaran, berteriak:

“Lari! Sekarang!!”

Dalam sekejap, Faisal melihat seberkas cahaya di atas gapura kayu, seperti portal terbuka. Ia berlari tanpa menoleh, dan dalam satu lompatan… gelap.


☀️ EPILOG: Kembali, Tapi Tidak Sempurna

Faisal terbangun di pinggir jalan raya, tepat di depan gerbang masuk kabupaten. Motornya berdiri di sampingnya. HP-nya menyala. Waktu menunjukkan dua hari setelah ia menghilang.

Namun kini… Faisal tidak bisa lagi melihat bayangannya sendiri, bahkan di siang bolong.


📝 CATATAN:

"Kampung Tanpa Nama" adalah cerita fiksi orisinal yang memadukan unsur mitos desa gaib, ritual tumbal, dan kehilangan identitas, terinspirasi dari banyak cerita rakyat di Jawa tentang desa gaib yang hanya muncul untuk orang tertentu.


0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama