"Leuit: Kampung yang Tidak Boleh Diingat"
Aku seharusnya tidak menulis ini. Tapi rasa penasaran telah membawaku ke tempat terlarang, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.
Semuanya bermula dari cerita warga tua di Rangkasbitung, tentang sebuah kampung di selatan Banten yang “tak boleh disebut”, apalagi dicari. Namanya Kampung Leuit.
Kata mereka, kampung itu dihuni para dukun tua yang menolak mati. Bukan karena mereka tidak bisa—tapi karena mereka menolak pergi. Mereka tetap hidup dengan ilmu tua, menghisap usia dari siapa saja yang melanggar pantangan.
Aku tidak percaya saat itu. Hingga aku benar-benar ke sana.
Hari Pertama: Jalan Tak Tercatat
Peta Google tidak mengenal nama Leuit. Jalan setapak yang kulalui mulai memudar jadi semak, dan udara berubah. Terlalu dingin, terlalu diam.
Begitu tiba, aku sadar: kampung ini terlalu tenang.
Rumah-rumah panggung dari kayu gelap berjajar rapi, tapi tidak ada suara ayam, tidak ada anak-anak, tidak ada kehidupan—hanya mata-mata tua dari balik jendela yang menatapku tanpa berkedip.
Seorang lelaki tua dengan kulit keriput dan mata putih menghampiriku.
“Kamu tamu… atau tumbal?”
Aku tertawa kikuk, mengira itu candaan. Tapi dia tidak tertawa balik.
Hari Kedua: Pantangan Dilanggar
Aku menginap di rumah seorang juru kunci bernama Ki Darsa. Ia memperingatkanku:
“Di sini, jangan bawa garam. Jangan potret rumah. Dan jangan bicara soal waktu.”
Aku bodoh. Di malam kedua, aku mengeluarkan senter dan ponsel untuk memotret sebuah lumbung tua yang katanya disebut Leuit Agung, tempat “penyimpanan umur”.
Begitu lampu kilat menyala, udara mendadak berat. Angin berhenti. Dan aku mendengar langkah kaki... dari atas lumbung.
Tok... Tok... Tok...
Seseorang, atau sesuatu, turun perlahan.
Bukan orang. Tubuhnya tinggi, rambut gimbal sampai tanah, matanya kosong seperti sumur tua. Ia membuka mulut tapi tidak berbicara—hanya menghisap udara... dan aku merasa tubuhku melemah.
Hari Ketiga: Harga Rasa Penasaran
Pagi hari, aku terbangun. Tapi semua jamku mati. Ponsel rusak. Kompas kacau. Ki Darsa berkata pelan:
“Waktu di sini tidak jalan seperti di luar. Kamu bisa tinggal sehari, tapi dunia luar bisa berubah jadi bertahun-tahun.”
Aku ingin pulang. Tapi jalan yang kupakai masuk sudah tidak ada. Hutan menutup. Bahkan warga sekitar bilang Kampung Leuit tak pernah ada.
Sekarang, aku menulis ini di buku tua yang kutemukan di rumah Ki Darsa. Aku tidak tahu apakah akan ada yang membacanya. Tapi jika kamu menemukan tulisan ini...
Jangan pernah cari Kampung Leuit. Jangan pikirkan. Dan jangan coba menyebut namanya di malam Jumat.
Karena ketika kamu mengingat... dia juga akan mengingatmu.
Aku seharusnya tidak menulis ini. Tapi rasa penasaran telah membawaku ke tempat terlarang, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.
Semuanya bermula dari cerita warga tua di Rangkasbitung, tentang sebuah kampung di selatan Banten yang “tak boleh disebut”, apalagi dicari. Namanya Kampung Leuit.
Kata mereka, kampung itu dihuni para dukun tua yang menolak mati. Bukan karena mereka tidak bisa—tapi karena mereka menolak pergi. Mereka tetap hidup dengan ilmu tua, menghisap usia dari siapa saja yang melanggar pantangan.
Aku tidak percaya saat itu. Hingga aku benar-benar ke sana.
Hari Pertama: Jalan Tak Tercatat
Peta Google tidak mengenal nama Leuit. Jalan setapak yang kulalui mulai memudar jadi semak, dan udara berubah. Terlalu dingin, terlalu diam.
Begitu tiba, aku sadar: kampung ini terlalu tenang.
Rumah-rumah panggung dari kayu gelap berjajar rapi, tapi tidak ada suara ayam, tidak ada anak-anak, tidak ada kehidupan—hanya mata-mata tua dari balik jendela yang menatapku tanpa berkedip.
Seorang lelaki tua dengan kulit keriput dan mata putih menghampiriku.
“Kamu tamu… atau tumbal?”
Aku tertawa kikuk, mengira itu candaan. Tapi dia tidak tertawa balik.
Hari Kedua: Pantangan Dilanggar
Aku menginap di rumah seorang juru kunci bernama Ki Darsa. Ia memperingatkanku:
“Di sini, jangan bawa garam. Jangan potret rumah. Dan jangan bicara soal waktu.”
Aku bodoh. Di malam kedua, aku mengeluarkan senter dan ponsel untuk memotret sebuah lumbung tua yang katanya disebut Leuit Agung, tempat “penyimpanan umur”.
Begitu lampu kilat menyala, udara mendadak berat. Angin berhenti. Dan aku mendengar langkah kaki... dari atas lumbung.
Tok... Tok... Tok...
Seseorang, atau sesuatu, turun perlahan.
Bukan orang. Tubuhnya tinggi, rambut gimbal sampai tanah, matanya kosong seperti sumur tua. Ia membuka mulut tapi tidak berbicara—hanya menghisap udara... dan aku merasa tubuhku melemah.
Hari Ketiga: Harga Rasa Penasaran
Pagi hari, aku terbangun. Tapi semua jamku mati. Ponsel rusak. Kompas kacau. Ki Darsa berkata pelan:
“Waktu di sini tidak jalan seperti di luar. Kamu bisa tinggal sehari, tapi dunia luar bisa berubah jadi bertahun-tahun.”
Aku ingin pulang. Tapi jalan yang kupakai masuk sudah tidak ada. Hutan menutup. Bahkan warga sekitar bilang Kampung Leuit tak pernah ada.
Sekarang, aku menulis ini di buku tua yang kutemukan di rumah Ki Darsa. Aku tidak tahu apakah akan ada yang membacanya. Tapi jika kamu menemukan tulisan ini...
Jangan pernah cari Kampung Leuit. Jangan pikirkan. Dan jangan coba menyebut namanya di malam Jumat.
Karena ketika kamu mengingat... dia juga akan mengingatmu.
Posting Komentar